Jb. Com, Ambon – Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Ambon menggelar Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Tahun 2025 di Ruang Vlissingen, Balai Kota Ambon, Jumat (2/5). Rapat tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Tim Penggerak PKK Kota Ambon, Lisa Wattimena, sebagai langkah lanjutan dalam memperkuat kebijakan aksi konvergensi penanganan stunting yang menyasar seluruh kecamatan dan kelurahan di wilayah Ambon.
Dalam arahannya, Lisa Wattimena menekankan pentingnya rakor sebagai bagian dari pengendalian dan penyatuan strategi penanganan stunting secara terstruktur dan kolaboratif. Ia menyebut, langkah ini menjadi komitmen pemerintah daerah dalam mendukung program nasional percepatan penurunan stunting sebagai bagian dari visi Indonesia Emas 2045, khususnya dalam misi penguatan sumber daya manusia di bidang kesehatan.
“Rapat ini merupakan bagian dari upaya kita bersama dalam mengonsolidasikan langkah-langkah strategis untuk menekan angka stunting. Ini bukan hanya isu kesehatan, tapi soal masa depan generasi Ambon,” ujar Lisa.
Dalam presentasinya, Lisa mengungkapkan bahwa prevalensi stunting di Kota Ambon justru mengalami peningkatan. Berdasarkan data Maret 2025, tercatat 426 anak mengalami stunting, naik dari 353 anak pada periode sebelumnya. Kenaikan ini menjadi alarm serius bagi pemerintah kota.
Menanggapi hal tersebut, Lisa menekankan pentingnya intervensi dini dan berkelanjutan, seperti pemberian ASI eksklusif hingga enam bulan, pemantauan tumbuh kembang anak secara berkala, konsumsi tablet tambah darah bagi ibu hamil, serta pemberian MPASI bergizi tinggi, khususnya protein hewani untuk bayi di atas enam bulan.
Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menanggulangi stunting, mulai dari peran pemerintah, dunia usaha, hingga masyarakat sipil. “Kita harus membangun sinergi, menyatukan kekuatan, dan menciptakan solusi konkret yang lahir dari koordinasi yang baik,” kata Lisa.
Selain itu, ia mendorong agar organisasi perangkat daerah (OPD) terkait yang menangani intervensi sensitif dan spesifik bisa lebih aktif bersinergi serta membuka ruang diskusi dalam forum rakor guna merumuskan kebijakan berbasis data dan kebutuhan lapangan. (**)















