MasarikuOnline.Com, Ambon, 5 Maret 2025 – Kejaksaan Tinggi Maluku kembali menunjukkan komitmennya dalam menerapkan prinsip keadilan restoratif dengan menghentikan penuntutan perkara penganiayaan ringan yang terjadi di Teon Nila Serua, Waipia, Kabupaten Maluku Tengah.
Keputusan ini disetujui oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.H setelah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk perdamaian antara pelaku dan korban, serta ketentuan hukum yang berlaku.
Perkara ini bermula dari konflik antara AI alias Toni dan Raja Negeri Layeni, Roy Marthen Tewernussa, yang berujung pada penganiayaan ringan. Setelah kasusnya diproses hingga Kejaksaan Negeri Maluku Tengah, Tim Restorative Justice berupaya memfasilitasi perdamaian antara kedua belah pihak.
Bertempat di Gereja Baptis Waipia, Kabupaten Maluku Tengah, pertemuan ini dihadiri oleh istri tersangka Ketrina Jaso, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan Pendeta Elisa Serworwora sebagai perwakilan tokoh agama. Dalam forum ini, korban dengan tulus memaafkan pelaku tanpa meminta ganti rugi apa pun.
Menindaklanjuti kesepakatan damai ini, Kepala Kejaksaan Negeri Maluku Tengah Nur Akhirman, S.H., M.Hum bersama timnya mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Kejaksaan Tinggi Maluku.
Penghentian penuntutan ini dilakukan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan RI tentang keadilan restoratif, dengan mempertimbangkan beberapa faktor:
1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
2. Ancaman hukuman pidana di bawah 5 tahun.
3. Tidak ada tuntutan ganti rugi dari korban.
4. Nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000.
Atas dasar tersebut, Tim Restorative Justice Kejaksaan Agung RI menyetujui penghentian penuntutan, yang kemudian diumumkan secara resmi melalui Kejaksaan Tinggi Maluku dalam konferensi pers yang dihadiri oleh Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Dr. Jefferdian, Asisten Tindak Pidana Umum Yunardi, S.H., M.H, serta sejumlah pejabat Kejaksaan Tinggi Maluku lainnya.
Keberhasilan penghentian penuntutan ini menjadi bukti nyata bahwa Kejaksaan Tinggi Maluku terus berkomitmen dalam mengedepankan keadilan yang lebih manusiawi dan berorientasi pada pemulihan hubungan sosial di masyarakat.
Dengan pendekatan ini, diharapkan penyelesaian perkara secara damai dapat menjadi solusi yang lebih efektif dibandingkan dengan proses hukum yang panjang, terutama untuk kasus-kasus dengan dampak sosial yang lebih besar dibandingkan dampak hukumnya.
(**)















