MasarikuOnline.Com, Malteng – Deru suara pukulan sapu lidi menggema di Negeri Morella, Kabupaten Maluku Tengah, Senin siang, 7 April 2025. Di bawah terik matahari, warga dengan penuh semangat melakoni tradisi tahunan “Pukul Sapu”—ritual budaya warisan leluhur yang sarat makna persaudaraan dan rekonsiliasi.
Di antara kerumunan penonton dan peserta yang memadati pelataran negeri, hadir anggota Komisi IV DPRD Maluku, Ir. Rimanir J. Hetharia, ST., M.Sos., IPP. Ia tak sekadar menonton. Dalam wawancaranya kepada wartawan, Rimanir menyampaikan kekaguman atas partisipasi masyarakat yang, menurutnya, menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga warisan budaya.
“Acara seperti ini bukan sekadar seremoni. Ini cermin semangat kolektif masyarakat untuk terus merawat identitas dan kearifan lokal,” ujar Rimanir. Ia berharap Pukul Sapu tak hanya berhenti sebagai tontonan tahunan, melainkan menjadi agenda budaya yang dikemas secara konsisten dan menarik.
Tradisi Pukul Sapu—yang dilakukan dengan cara dua pemuda saling memukul menggunakan sapu lidi sambil bertelanjang dada—memiliki akar sejarah panjang. Konon, tradisi ini berawal dari resolusi konflik antarkampung. Kini, ia berkembang menjadi simbol perdamaian dan solidaritas sosial.
Rimanir menilai, kekuatan simbolik inilah yang layak dijaga. “Tradisi ini bukan hanya ritual, tapi alat pemersatu yang sangat kuat. Ini pelajaran penting, terutama di tengah ancaman polarisasi dan memudarnya nilai-nilai gotong royong,” katanya.
Apresiasi terhadap tradisi ini juga datang dari Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku, yang turut hadir dalam acara tersebut. Pemerintah Provinsi menilai Pukul Sapu sebagai contoh praktik budaya yang mampu memperkuat kohesi sosial lintas agama dan suku.
Sebagai legislator, Rimanir berkomitmen mendorong pelestarian budaya lokal melalui dukungan kebijakan dan anggaran. “Budaya seperti ini adalah denyut nadi perdamaian Maluku. Kita semua punya tanggung jawab untuk merawatnya,” ujarnya.
Dengan semakin kuatnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat, tradisi Pukul Sapu tampaknya tak hanya akan bertahan. Ia bisa tumbuh menjadi ikon budaya damai dari timur Indonesia—menebar pesan persaudaraan di tengah riuh zaman. (**)















