Perdagangan Gelap Kulit Mangrove dari Seram Bagian Barat: Jejak Kejahatan Ekspor Ilegal Sejak 2021

oleh -3619 Dilihat

MasarikuOnline.Com, Seram Bagian Barat — Sejak tahun 2021, Kawasan hutan Mangrove di wilayah Kota Nia dan Pohon Batu, Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku menghadapi ancaman serius akibat aktivitas ilegal yang terorganisir. Dugaan kuat menyebutkan bahwa kulit pohon Mangrove telah dieksploitasi secara besar-besaran dan diduga diekspor ke luar negeri, melalui pelabuhan Yos Sudarso Ambon.

Modus operandi kejahatan ini cukup rapi. Kulit Mangrove disamarkan dengan nama Kulit “kayu Tagong ” yang diambil secara ilegal namun diklaim dalam dokumen resmi pengiriman ke Surabaya. Dengan cara itu, pengiriman berton-ton kulit Mangrove berhasil melenggang bebas tanpa hambatan berarti, melewati pengawasan di pelabuhan Ambon.

“Sejak 2021 hingga 2024, diperkirakan sekitar 20 kontainer telah diekspor ke luar negeri,” ungkap nara sumber yang enggan menyebutkan identitasnya, kepada media ini pada Sabtu (15/03/2025).

Dalam keterangannya, Ia menegaskan bahwa rangkaian kejahatan ini telah berlangsung cukup lama dan tentunya melibatkan banyak pihak dan yang menarik adalah dokumen tersebut dikeluarkan oleh Dinas kehutanan Provinsi Maluku.

Lebih lanjut, sumber menyebutkan bahwa praktik ini berlangsung mulus karena ada keterlibatan sejumlah oknum di Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, bahkan ada oknum pensiunan Kehutanan (BKSDA), pejabat yang seharusnya menjaga integritas. Mereka diduga berperan dalam praktek perusakan hutan.

“Yang aneh, dokumen pengiriman mengunakan Surat keterangan Kayu Rakyat dengan nama kulit kayu Tagong padahal faktanya adalah kulit Mangrove yang diambil dari kawasan hutan di Pulau Seram, SBB,” bahkan pelaku kejahatan perusakan hutan juga diduga melibatkan oknum BPD Desa Eti jelas sumber.

Dugaan kuat, praktik manipulasi dokumen tersebut sudah “Diorkestrasi” sejak awal, sehingga tidak pernah ada masalah administrasi ketika barang tiba di pelabuhan Ambon dan menuju Surabaya.

Upaya penegakan hukum sempat dilakukan, namun penanganannya terkesan tidak profesional. Diduga ada intervensi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan, sehingga proses penyelidikan dan penindakan tidak profesional dan bersifat penanganan biasa tanpa efek jera.

Menurut sumber, Modus operandi dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai koodinator lapangan. Dengan cara mengupas pohon yang masih hidup dan sebagian di tebang dengan mesin gergaji rantai dan diangkut pada waktu tengah malam. Dari lokasi penampungan gudang, dimuat dengan mobil dari lokasi ke pelabuhan Fery waipirit menuju pelabuhan Ambon, dilakukan dengan rapi karena dokumen diduga sudah disiapkan oleh oknum Dinas Kehutanan (Bidang Peredaran Hasil Hutan).

“Ini adalah bentuk kejahatan terstruktur yang merugikan negara dan merusak ekosistem hutan Mangrove. Mestinya harus dirawat dan dijaga. Saat kita berbicara tentang hutan mangrove, yang punya peran penting menjaga intrusi airlaut, abrasi pantai dan sebagai habitat berbagai spesies,” tegas sumber.

Eksploitasi hutan Mangrove secara ilegal bukan hanya ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem, tetapi juga mengancam masyarakat pesisir yang bergantung pada kelestarian lingkungan. Hutan mangrove berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi wilayah pesisir dari abrasi dan gelombang pasang, sekaligus menjadi tempat pemijahan berbagai jenis ikan.

“Kerusakan Mangrove ini jika dihitung kerugian bukan hanya nilai kayu atau pohon namun dampaknya jauh lebih besar adalah nilai ekologi, jasa lingkungan termasuk penyimpanan Carbon 5 kali terbesar dibanding hutan alam di daratan.Bahkan dampaknya bukan saja masyarakat lokal tapi juga dunia global terkait perubahan iklim dan keberlanjutan hidup masyarakat utamanya yang hidup dari hasil laut,” pungkasnya.

Kasus ini kini menjadi sorotan publik di Seram Bagian Barat. Masyarakat berharap aparat penegak hukum, pihak terkait baik dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepolisian, maupun Kejaksaan, Lingkungan dapat segera mengambil tindakan tegas tanpa pandang bulu terhadap siapa pun yang terlibat.

“Penegakan hukum harus adil, tegak, tegas dan mereka yang bertanggung jawab mesti diadili. Jangan sampai sumber daya alam Maluku terus-menerus dijarah,” ujar seorang aktivis lingkungan di Ambon.

Eksploitasi dan perdagangan ilegal sumber daya alam seperti ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral. Ini soal keberlanjutan hidup generasi mendatang di tanah Maluku.

Ditempat terpisah, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, Haikal Baadila saat di konfirmasi terkait persoalan ini menjelaskan, bahwa Dinas Kehutanan Provinsi Maluku tidak pernah mengeluarkan dokumen izin ataupun dokumen angkut terkait dengan eksploitasi dan pengangkutan kulit mangrove di wilayah tersebut. Pernyataan ini menanggapi maraknya isu terkait perdagangan kulit mangrove yang diduga terjadi di kabupaten Seram Bagian Barat.

Menurutnya, pada tahun 2022, Unit Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) Seram Bagian Barat (SBB) telah mengambil tindakan tegas dengan menghentikan aktivitas pengambilan kulit mangrove yang berlangsung di wilayahnya. Selain itu, pihak UPTD KPH SBB juga memasang papan larangan di lokasi tersebut serta melakukan pembinaan kepada masyarakat setempat mengenai pentingnya menjaga ekosistem mangrove.

“Kami tegaskan bahwa Dinas Kehutanan Provinsi Maluku tidak pernah mengeluarkan izin atau dokumen angkut terkait dengan eksploitasi kulit mangrove. Pada tahun 2022, UPTD KPH SBB sudah menghentikan kegiatan tersebut dan memberikan pembinaan kepada masyarakat,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Maluku.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa hutan mangrove memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan harus dilindungi dari eksploitasi ilegal. Pihaknya terus berupaya melakukan pengawasan dan sosialisasi agar masyarakat lebih sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.

Dinas Kehutanan Maluku juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas yang dapat merusak ekosistem mangrove dan melaporkan jika menemukan adanya kegiatan ilegal terkait pemanfaatan sumber daya hutan tanpa izin resmi. (JR)